I PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok penggunaan napsa suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerja seks (Seks Worker) dan pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada saat ini, maka kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum tidak dapat diabaikan. Kebanyakan dari mereka yang berisiko tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi atau belum.
Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan HIV/AIDS.
Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saai ini bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sesudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV/AIDS atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau diwajibkan. Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan terkait dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan sehingga konseling dan testing HIV/AIDS secara sukarela merupakan pintu masuk semua layanan tersebut di atas.
Perubahan perilaku seseorang dari berisiko menjadi kurang berisiko terhadap kemungkinan tertularnya HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses mendorong ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola kejiwaan dan proses menggunakan pikiran secara mandiri.
Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dapat dilakukan di sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela ini harus berlandaskan pada pedoman konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, agar mutu layanan dapat dipertanggungjawabkan.
B Tujuan
1. Tujuan Umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan kenseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien.
2. Tujuan Khusus :
• Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
• Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan managemen yang sesuai.
• Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
C Sasaran
Pedoman ini digunakan bagi sarana kesehatan maupun sarana kesehatan lainnya yang menyelenggarakan layanan konseling dan testing HIV/AIDS.
D Pengertian-pengertian
1. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
2. Ante Natal Care (ANC) adalah suatu perawatan perempuan selama kehamilannya. Biasanya dilakukan di KIA (Klinik Ibu dan Anak), dokter kebidanan atau bidan.
3. Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat ini diberikan pada ODHA yang memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis, juga dalam rangka Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT).
4. Humman Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.
5. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan menangani klien secara utuh, menilai kedatangan klien berkunjung ke fasilitas kesehatan atas dasar kebutuhan klien, dan disalurkan kepada layanan yang dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan.
6. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau testing HIV/AIDS.
7. Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih ketrampilan konseling HIV dan dinyatakan mampu.
8. Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan seksual calon pasangan seksual dari klien.
9. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes. Materi diskusi adalah menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat rencana menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab respon emosional yang tiba-tiba mencuat, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, membuat perencanaan dukungan.
10. Konseling pra tes adalah diskusi antaraklien dan konselor, bertujuan menyiapkan klien untuk testing HIV/AIDS. Isi diskusi adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapai hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan inform consent, dan konseling seks yang aman.
11. Konseling pra tes kelompok adalah diskusi antara konselor dengan beberapa klien, biasanya tak lebih dari lima orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka untuk testing HIV/AIDS. Sebelum melakukannya, ditanyakan kepada para klien tersebut apakah mereka setuju untuk berproses bersama.
12. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS.
13. Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.
14. Periode jendela adalah suatu peride atau masa sejak orang terifeksi HIV sampai badan orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan pemeriksaan rutin tes HIV.
15. Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan.
16. Inform consent (persetujuan tindakan medis) adalah persetujuan yang diberikan oleh orang dewasa ynag secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian.
17. Prevention of mother To Child Transmission (PMTCT) adalah pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak yang akan atau sedang atau sudah dilahirkannya. Layanan PMTCT bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada anak.
18. Sistem Rujukan adalah pengaturan dari institusi pemberi layanan yang memungkinkan petugasnya mengirimkan klien, sampel darah atau informasi, memberi petunjuk kepada institusi lain atas dasar kebutuhan klien untuk mendapatkan layanan yang lebih memadai. Pengiriman ini senantiasa dilakukan dengan surat pengantar, bergantung pada jenis layanan yang dibutuhkan. Pengaturannya didasarkan atas peraturan yang berlaku, atau persetujuan para pemberian layanan, dan disertai umpan balik dari proses atau hasil layanan.
19. Tuberculosa (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah terinfeksi virus virus HIV.
20. Konseling dan Testing (Counselling and Testing) adalah konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS berserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang disekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.
II KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SUKARELA (VCT)
A Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
B Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT)
sumber : WHO, adaptasi
Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke dalam seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.
1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif atau negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penuebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.
C Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)
1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan klien. Kecuali testing HIV pada donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asueransi kesehatan.
2. Saling mempercayai dan terjaminya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari klien dapat diketahui.
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yng disetujui oleh klien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar