Kamis, 16 September 2010

HASIL PENELITIAN DM TIPE 1 DI RSUD SUKA DEMAK

A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini berusaha mengutarakan perbedaan efektifitas antara metode diskusi dan metode problem solving pada upaya peningkatan pengetahuan dan sikap penderita terhadap DM, sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa hal menyangkut penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
1. Materi lebih menitikberatkan pada upaya penanganan dan pencegahan terhadap penyakit DM.
2. Metode pendidikan kesehatan yang digunakan adalah diskusi dan problem solving.
3. Responden adalah pasien DM pada RSD Sunan Kalijaga Kabupaten Demak.
Apabila melihat kekhususan yang penulis terapkan dalam proses penelitian yang dilaksanakan, maka tetap ada beberapa keterbatasan yang penulis temukan. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode diskusi dan metode problem solving, padahal untuk melaksanakan promosi kesehatan terutama pencegahan penyakit DM ini dapat dilakukan dengan metode lain.
Lingkup responden yang kecil, yang hanya diwakili 3 (tiga) kelompok responden dalam satu rumah sakit masih dapat diperluas dengan jumlah responden yang lebih banyak serta lingkup daerah penelitian yang lebih luas. Namun karena keterbatasan sumber daya yang ada, maka penulis hanya melakukan seperti yang diuraikan di atas.

B. Karakteristik Responden
1. Umur.
Tabel 4.1
Umur Responden
No. Kelompok Umur Diskusi Problem
Solving Kontrol Jumlah Persentase
(%)

1 40 - 44 7 7 4 18 20.00
2 45 - 49 6 5 5 16 17.78
3 50 - 54 8 8 8 24 26.67
4 55 - 59 7 7 8 22 24.44
5 60 - 64 1 2 3 6 6.67
6 65 - 69 1 1 0 2 2.22
7 70 - 74 0 0 1 1 1.11
8 75 - 79 0 0 1 1 1.11
9 80 - 84 0 0 0 0 0,00


J u m l ah 30 30 30 90 100.00

Berdasarkan hasil rekapitulasi data umum dari ketiga kelompok responden penelitian yaitu kelompok diskusi, problem solving dan kontrol, diketahui bahwa umur termuda adalah 40 tahun dan yang tertua 76 tahun. Selanjutnya guna memudahkan pembacaan data, peneliti melakukan pengelompokkan umur dengan interval 5 pada setiap kelompok responden. Gambaran selengkapnya deskripsi umur ini tercantum pada tabel 4.1 di bawah ini.
Merujuk pada data tabel 4.1, diketahui bahwa kelompok umur 50-54 adalah yang terbanyak yaitu 24 orang atau sebesar 26,67%. Sedangkan untuk kelompok umur yang tidak ada anggotanya adalah kelompok umur 80 -84.
2. Pendidikan.
Tabel 4.2
Pendidikan Responden
No. Tingkat Pendidikan Diskusi Problem
Solving Kontrol Jumlah Persentase
(%)

1 SLTP 5 3 4 12 13.33
2 SLTA 17 15 15 47 52.22
3 Diploma III 2 5 4 11 12.22
4 Sarjana (S-1 / S-2) 6 7 7 20 22.22

J u m l ah 30 30 30 90 100.00

Merujuk pada data tabel di atas diketahui bahwa tingkat pendidikan SLTA adalah yang terbanyak yaitu 47 orang atau sebesar 52,22%. Sedangkan pendidikan Diploma III adalah yang paling sedikit yaitu 11 orang atau sebesar 12.22%.

3. Pekerjaan.
Tabel 4.3
Pekerjaan Responden
No. Jenis Pekerjaan Diskusi Problem
Solving Kontrol Jumlah Persentase
(%)

1 PNS / ABRI / POLRI 19 23 25 67 74.44
2 Swasta 3 6 5 14 15.56
3 Petani 2 0 0 2 2.22
4 Nelayan 0 0 0 0 0.00
5 Ibu Rumah Tangga 0 0 0 0 0.00
6 Lain-lain 6 1 0 7 7.78

J u m l ah 30 30 30 90 100.00

Berdasarkan data yang tercantum pada tabel di atas diketahui bahwa jenis pekerjaan PNS / ABRI / POLRI adalah yang terbanyak yaitu 67 orang atau 74,44%. Sedangkan jenis pekerjaan nelayan dan ibu rumah tangga tidak ada perwakilannya. Perlu disampaikan di sini bahwa jenis pekerjaan lain-lain diperuntukkan bagi jenis-jenis pekerjaan yang belum termasuk pada kelima pekerjaan sebelumnya. Pada kelompok diskusi dan problem solving, jenis pekerjaan lain-lain diisi oleh responden dengan jenis pekerjaan pensiunan.

4. Pendapatan.
Tabel 4.4
Pendapatan Responden
No. Pendapatan Diskusi Problem
Solving Kontrol Jumlah Persentase
(%)

1 < Rp. 1.000.000 8 2 8 18 20.00
2 Rp. 1.000.000 - 2.000.000 20 21 20 61 67.78
3 > Rp. 2.000.000 2 7 2 11 12.22

J u m l ah 30 30 30 90 100.00

Merujuk pada data yang tercantum pada tabel di atas diketahui bahwa responden dengan pendapatan antara Rp. 1.000.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- adalah yang terbanyak yaitu 61 orang atau sebesar 67,78%. Sementara itu untuk responden dengan pendapatan lebih besar dari (>) Rp. 2.000.000,00 adalah yang paling sedikit yaitu 11 orang atau sebesar 12,22%.
5. Asal / Alamat Responden.
Tabel 4.5
Alamat Responden
No. Alamat
Responden Diskusi Problem
Solving Kontrol Jumlah Persentase
(%)

1 Dalam Kota 18 22 22 62 68.89
2 Desa / Luar Kota 12 8 8 28 31.11

J u m l ah 30 30 30 90 100.00

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa asal / alamat responden sebagian besar adalah dari dalam kota, yaitu sebanyak 62 orang atau sebesar 68,89%. Sementara itu sisanya yaitu 28 orang atau 31,11% berasal dari luar kota.

C. Analisis Pengetahuan dan Sikap dengan Metode Diskusi dan Problem Solving
1. Pengetahuan
Pengetahuan dalam penelitian ini adalah kemampuan responden untuk menjawab tes pengetahuan tentang penyakit Diabetes Mellitus dan penatalaksanaannya, sebelum dan sesudah perlakuan dengan menggunakan bentuk soal pilihan salah satu benar sebanyak 30 buah, setiap jawaban yang benar mendapatkan nilai 2 dan jawaban yang salah bernilai 1. Berikut hasil penelitian yang didapat.
a. Hasil Pre-Test Pengetahuan
Tabel 4.6
Deskripsi Nilai Pengetahuan Responden Tahap Pre-Test
Diskusi Problem Solving Kontrol
N 30 30 30
Nilai Minimum 30 33 35
Nilai Maksimum 47 48 48
Rata-rata 40.5000 41.3667 41.9333
Standar Deviasi 4.4548 4.5295 3.3726

Nilai N menyatakan jumlah observasi yang dinyatakan valid (tersedia) yaitu 30 untuk setiap kelompok, dengan demikian karena pada setiap kleompok jumlah N nya adalah 30 maka bisa dikatakan bahwa tidak ada data yang hilang (missing).
Mean atau nilai rata-rata menunjukkan bahwa sebaran kumulatif jawaban responden ada di sekitar angka tersebut. Hasil pengukuran terhadap tingkat pengetahuan 30 responden sebelum perlakuan (pre-test) diperoleh rerata 40,5000 untuk kelompok diskusi, 41,3667 untuk kelompok problem solving dan 41,9333 untuk kelompok kontrol.
Standar deviasi menyatakan rerata jarak masing-masing responden dengan rerata jawaban bersama. Semakin kecil standar deviasi, maka semakin kecil sebaran terjadi terhadap skor jawaban. Secara berurutan nilai standar deviasi mulai dari yang terkecil adalah : kelompok kontrol (3.3726), kelompok diskusi (4.4548) dan terakhir kelompok problem solving (4.5295).
Hasil uji-t terhadap skor jawaban antara kelompok diskusi dengan problem solving didapatkan nilai –1,819 dengan probabilitas 0,079 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna darihasil pre-test kelompok diskusi dan problem solving. Dengan kata lain kedua kelompok berangkat dari pengetahuan yang sama mengenai penyakit diabetes mellitus.

b. Hasil Post-Test Pengetahuan
Tabel 4.7
Deskripsi Nilai Pengetahuan Responden Tahap Post-Test
Diskusi Problem Solving Kontrol
N 30 30 30
Nilai Minimum 35 38 35
Nilai Maksimum 50 50 48
Rata-rata 45.0333 46.7667 42.5667
Standar Deviasi 4.0042 3.02977 3.0703

Selanjutnya berikut ini dideskripsikan nilai post-test dari variabel pengetahuan untuk ketiga kelompok penelitian. Jumlah observasi yang dinyatakan valid (tersedia) yaitu N=30 untuk masing-masing kelompok, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada data yang hilang (missing). Berdasarkan data yang tercantum pada tabel di atas diketahui bahwa mean atau nilai rata-rata yang menunjukkan besaran nilai yang mempunyai jarak sama antara nilai minimum dengan maksimum untuk kelompok diskusi sebesar 45.0333; kelompok problem solving sebesar 46.7667 dan kelompok kontrol sebesar 42.5667. Kemudian untuk nilai standar deviasi, kelompok kontrol mempunyai nilai sebaran yang paling kecil yaitu 3.0703 kemudian kelompok problem solving sebesar 3.02977 dan kelompok diskusi 4.0042.
Selanjutnya untuk melihat perbedaan yang terjadi antara sebelum perlakuan dengan sesudah perlakukan, dilakukan uji t-test dengan maksud untuk mendapatkan informasi tentang efektivitas perlakuan yang telah diberikan. Hasil uji t-test untuk variabel pengetahuan pada kelompok diskusi antara sebelum dengan sesudah diskusi sebesar -5.321. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042. Secara grafis untuk menggambarkan keberadaan nilai t hitung tersebut pada daerah penolakan hipotesis nol adalah :
Daerah penolakan Ho Daerah penolakan Ho



Daerah penerimaan
Ho


- 2,042 + 2,042
Gambar 4.1
Nilai t-test Variabel Pengetahuan untuk Kelompok Diskusi
Kemudian untuk hasil uji t-test variabel pengetahuan pada kelompok problem solving antara sebelum dengan sesudah perlakuan, sebesar –7,187. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042. Selanjutnya hasil uji t-test untuk kelompok terakhir yaitu kelompok kontrol memberikan informasi bahwa nilai t hitung sebesar sebesar –1,841. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042.


Daerah penolakan Ho Daerah penolakan Ho



Daerah penerimaan
Ho


- 2,042 + 2,042
Gambar 4.2
Nilai t-test Variabel Pengetahuan untuk Kelompok
Problem Solving

2. Sikap
Sikap dalam penelitian ini merupakan respon atau tanggapan responden tentang penyakit Diabetes Mellitus dan penatalaksanaannya, diukur dengan menggunakan Skala Likert berisi empat alternatif jawaban yaitu sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2) dan sangat tidak setuju (1). Selanjutnya deskripsi hasil penelitian untuk variabel sikap tercantum pada table berikut ini.

a. Hasil Pre-Test Variabel Sikap
Tabel 4.8
Deskripsi Nilai Sikap Responden Tahap Pre-Test
Diskusi Problem Solving Kontrol
N 30 30 30
Nilai Minimum 45 46 45
Nilai Maksimum 79 80 80
Rata-rata 62.0000 64.0000 63.4667
Standar Deviasi 9.5267 8.7494 9.9749

Berdasarkan hasil pengolahan data, jumlah observasi yang dinyatakan valid (tersedia) yaitu N=30 untuk masing-masing kelompok, atau bisa dikatakan tidak terdapat data yang hilang (missing). Nilai minimum untuk kelompok diskusi adalah 45, nilai maksimum 79 dengan rerata sebesar 62,0000 dan standar deviasi sebesar 9.5267. Kemudian untuk kelompok problem solving, nilai minimumnya sebesar 46, nilai maksimum sebesar 80, mean atau rerata sebesar 64.000 dan standar deviasi 8.7494. Sedangkan untuk kelompok kontrol, nilai minimumnya adalah 45, maksimum sebesar 80, nilai rata-rata 63,4667 dan standar deviasi senilai 9.9749.
Merujuk pada data tabel tersebut bisa diketahui pula bahwa nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi untuk kelompok diskusi dan kontrol adalah sama. Apabila dibandingkan dengan kelompok problem solving maka nilai rerata kelompok diskusi lebih besar dan nilai standar deviasinya lebih kecil.
Hasil uji-t terhadap skor jawaban antara kelompok diskusi dengan problem solving didapatkan nilai –1,980 dengan probabilitas 0,0057 > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dari hasil pre-test kelompok diskusi dan problem solving. Dengan kata lain kedua kelompok berangkat dari sikap yang sama mengenai penyakit diabetes mellitus.
b. Hasil Post-Test Variabel Sikap
Tabel 4.9
Deskripsi Nilai Sikap Responden Tahap Post-Test
Diskusi Problem Solving Kontrol
N 30 30 30
Nilai Minimum 49 50 50
Nilai Maksimum 80 80 80
Rata-rata 65.2333 67.5000 65.2000
Standar Deviasi 10.1155 9.6517 9.8380

Berdasarkan data yang tercantum pada tabel di atas diketahui bahwa nilai rata-rata untuk kelompok diskusi sebesar 65,2333, sedangkan untuk kelompk problem solving adalah 67.5000 dan kelompok kontrol 65.2000.
Selanjutnya hasil uji t-test untuk varaibel sikap pada kelompok diskusi antara sebelum dengan sesudah diskusi sebesar –2,993. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042. Sementara itu untuk hasil uji t-test pada kelompok problem solving sebesar –2.968. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042. Sedangkan untuk kelompok kontrol hasil uji t-test nya menyebutkan bahwa nilai t hitung yang diperoleh sebesar –1,756 dengan nilai signifikansi 0,090. Nilai tersebut lebih besar dari nilai t-table pada derajat kebebasan (dk) = 29 dengan alpha (α) = 0,05 yaitu sebesar 2,042.
Daerah penolakan Ho Daerah penolakan Ho



Daerah penerimaan
Ho


- 2,042 + 2,042
Gambar 4.4
Nilai t-test Variabel Sikap untuk Kelompok Diskusi
Daerah penolakan Ho Daerah penolakan Ho



Daerah penerimaan
Ho


- 2,042 + 2,042
Gambar 4.5
Nilai t-test Variabel Sikap untuk Kelompok Problem Solving

D. Perbandingan Efektivitas Metode Diskusi dan Problem Solving terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Perubahan Sikap Responden
Merujuk pada perbandingan nilai mean antara kelompok diskusi dengan kelompok problem solving di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa metode problem solving yang diterapkan pada pendidikan kesehatan mempunyai efektivitas yang lebih besar dibandingkan metode diskusi. Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan t-test.

Gambar 4.3
Perbandingan Mean Variabel Pengetahuan Kelompok
Diskusi, Problem Solving dan Kontrol

Berdasarkan gambar di atas nampak nilai mean skor jawaban responden untuk pengetahuan pada ketiga kelompok penelitian yaitu kelompok diskusi dan problem solving. Nilai mean terbesar adalah kelompok problem solving, diikuti mean skor jawaban kelompok diskusi dan terakhir kelompok kontrol. Hasil uji t antara hasil post-test kelompok diskusi dengan problem solving didapatkan nilai –3,078 dengan probabilitas = 0,005 < 0,05, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara peningkatan pengetahuan kelompok problem solving dengan kelompok diskusi sebelum mendapat perlakuan dengan sesudah mendapat perlakuan.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi : Pendidikan kesehatan dengan metode pemecahan masalah (problem solving) lebih efektif, dibandingkan metode diskusi terhadap perubahan pengetahuan pasien DM tipe-2 rawat jalan di RSD Sunan Kalijaga kabupaten Demak terbukti benar.

Gambar 4.6
Perbandingan Mean Variabel Sikap Pada Kelompok
Diskusi, Problem Solving dan Kontrol

Berdasarkan gambar 4.6 nampak nilai mean skor jawaban responden untuk sikap pada ketiga kelompok penelitian yaitu kelompok diskusi dan problem solving. Nilai mean terbesar adalah kelompok problem solving, kemudian diskusi dan terakhir kelompok kontrol. Hasil uji t antara hasil post-test kelompok diskusi dengan problem solving didapatkan nilai –-2591 dengan probabilitas = 0,015 < 0,05, yang berarti ada perbedaan yang bermakna antara perubahan sikap kelompok problem solving dengan kelompok diskusi sebelum mendapat perlakuan dengan sesudah mendapat perlakuan.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa hipotesis penelitian yang berbunyi : Pendidikan kesehatan dengan metode pemecahan masalah (problem solving) lebih efektif, dibandingkan metode diskusi terhadap perubahan sikap pasien DM tipe-2 rawat jalan di RSD Sunan Kalijaga kabupaten Demak terbukti benar.

PEDOMAN PELAYANAN KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SECARA SUKARELA (VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING)

I PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Dengan meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok penggunaan napsa suntik (penasun/IDU = Injecting Drug User), pekerja seks (Seks Worker) dan pasangan, serta waria di beberapa propinsi di Indonesia pada saat ini, maka kemungkinan terjadinya risiko penyebaran infeksi HIV ke masyarakat umum tidak dapat diabaikan. Kebanyakan dari mereka yang berisiko tertular HIV tidak mengetahui akan status HIV mereka, apakah sudah terinfeksi atau belum.
Estimasi yang dilakukan pada tahun 2003 diperkirakan di Indonesia terdapat sekitar 90.000-130.000 orang terinfeksi HIV, sedangkan data yang tercatat oleh Departemen Kesehatan RI sampai dengan maret 2005 tercatat 6.789 orang hidup dengan HIV/AIDS.
Melihat tingginya prevalensi di atas maka masalah HIV/AIDS saai ini bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi sesudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena itu penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi juga dari psikososial dengan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat melalui upaya pencegahan primer, sekunder, dan tertier. Salah satu upaya tersebut adalah deteksi dini untuk mengetahui status seseorang sudah terinfeksi HIV/AIDS atau belum melalui konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, bukan dipaksa atau diwajibkan. Mengetahui status HIV lebih dini memungkinkan pemanfaatan layanan-layanan terkait dengan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan sehingga konseling dan testing HIV/AIDS secara sukarela merupakan pintu masuk semua layanan tersebut di atas.
Perubahan perilaku seseorang dari berisiko menjadi kurang berisiko terhadap kemungkinan tertularnya HIV memerlukan bantuan perubahan emosional dan pengetahuan dalam suatu proses yang mendorong nurani dan logika. Proses mendorong ini sangat unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling merupakan salah satu pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola kejiwaan dan proses menggunakan pikiran secara mandiri.
Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dapat dilakukan di sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela ini harus berlandaskan pada pedoman konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, agar mutu layanan dapat dipertanggungjawabkan.

B Tujuan
1. Tujuan Umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui peningkatan mutu pelayanan kenseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien.
2. Tujuan Khusus :
• Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
• Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan managemen yang sesuai.
• Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
C Sasaran
Pedoman ini digunakan bagi sarana kesehatan maupun sarana kesehatan lainnya yang menyelenggarakan layanan konseling dan testing HIV/AIDS.

D Pengertian-pengertian
1. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.
2. Ante Natal Care (ANC) adalah suatu perawatan perempuan selama kehamilannya. Biasanya dilakukan di KIA (Klinik Ibu dan Anak), dokter kebidanan atau bidan.
3. Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat ini diberikan pada ODHA yang memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis, juga dalam rangka Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT).
4. Humman Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.
5. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan menangani klien secara utuh, menilai kedatangan klien berkunjung ke fasilitas kesehatan atas dasar kebutuhan klien, dan disalurkan kepada layanan yang dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan.
6. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau testing HIV/AIDS.
7. Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih ketrampilan konseling HIV dan dinyatakan mampu.
8. Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan seksual calon pasangan seksual dari klien.
9. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu klien beradaptasi dengan hasil tes. Materi diskusi adalah menyampaikan hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat rencana menyertakan orang lain yang bermakna dalam kehidupan klien, menjawab respon emosional yang tiba-tiba mencuat, menyusun rencana tentang kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku berisiko dan perawatan, membuat perencanaan dukungan.
10. Konseling pra tes adalah diskusi antaraklien dan konselor, bertujuan menyiapkan klien untuk testing HIV/AIDS. Isi diskusi adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS, menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien menghadapai hari depan, membantu klien memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan inform consent, dan konseling seks yang aman.
11. Konseling pra tes kelompok adalah diskusi antara konselor dengan beberapa klien, biasanya tak lebih dari lima orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka untuk testing HIV/AIDS. Sebelum melakukannya, ditanyakan kepada para klien tersebut apakah mereka setuju untuk berproses bersama.
12. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS.
13. Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.
14. Periode jendela adalah suatu peride atau masa sejak orang terifeksi HIV sampai badan orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan pemeriksaan rutin tes HIV.
15. Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan.
16. Inform consent (persetujuan tindakan medis) adalah persetujuan yang diberikan oleh orang dewasa ynag secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian.
17. Prevention of mother To Child Transmission (PMTCT) adalah pencegahan penularan HIV dari ibu kepada anak yang akan atau sedang atau sudah dilahirkannya. Layanan PMTCT bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada anak.
18. Sistem Rujukan adalah pengaturan dari institusi pemberi layanan yang memungkinkan petugasnya mengirimkan klien, sampel darah atau informasi, memberi petunjuk kepada institusi lain atas dasar kebutuhan klien untuk mendapatkan layanan yang lebih memadai. Pengiriman ini senantiasa dilakukan dengan surat pengantar, bergantung pada jenis layanan yang dibutuhkan. Pengaturannya didasarkan atas peraturan yang berlaku, atau persetujuan para pemberian layanan, dan disertai umpan balik dari proses atau hasil layanan.
19. Tuberculosa (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah terinfeksi virus virus HIV.
20. Konseling dan Testing (Counselling and Testing) adalah konseling dan testing HIV/AIDS sukarela, suatu prosedur diskusi pembelajaran antara konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS berserta risiko dan konsekuensi terhadap diri, pasangan dan keluarga serta orang disekitarnya. Tujuan utamanya adalah perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat dan lebih aman.

II KONSELING DAN TESTING HIV/AIDS SUKARELA (VCT)
A Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.










B Peran Konseling dan Testing Sukarela (VCT)


sumber : WHO, adaptasi

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke dalam seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan.
1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif atau negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penuebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

C Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)
1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak ditangan klien. Kecuali testing HIV pada donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asueransi kesehatan.
2. Saling mempercayai dan terjaminya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari klien dapat diketahui.
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yng disetujui oleh klien.

PERAN DAN FUNGSI KEPALA RUANG DALAM MPKP

A. Pendahuluan
Keperawatan adalah salah satu bentuk pelayanan profesional yang dilakukan oleh seorang perawat untuk menyelesaikan masalah kesehatan klien dengan melaksanakan asuhan keperawatan. Menurut University of South Alabama Medical Center dalam Swansburg and Swansburg (1999), menyebutkan bahwa asuhan keperawatan adalah tindakan yang diterima oleh klien yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien/keluarga untuk meningkatkan derajat kesehatannya.

Asuhan keperawatan yang professional haruslah diorganisir dengan pendekatan professional pula. Pengelolaan asuhan keperawatan yang selanjutnya disebut sebagai metode penugasan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Metode penugasan yang memungkikan dilaksanakan asuhan keperawatan secara professional adalah: Metode tim dan metode primary nurse seperti yang dilkaksanakan pada MPKP (model praktek keperawatan professional) di ruang rawat RSCM.

Pada makalah ini akan dibahas pelaksanaan 2 metode penugasan tersebut berdasarkan peran dari masing-masing komponen dalam organisasi tersebut.

B. Pembahasan
Metode Tim
Peran Kepakla Ruang dalam tahap:
1. Pengkajian : Mengidentifikasi masalah terkait fungsi manajamen
2. Perencanaan :
Fungsi perencanaan dan fungsi ketenagaan
• Menunjuk ka Tim
• Mengikuti serah terima klien
• Mengidentifikasi tingkat ketergantungan
• Mengidentifikasi jumlah perawat yang dibutuhkan berdasarkan aktifitas dan kebutuhan klien
• Merencanakan strategi pelaksanaan keeperawatan
• Merencanakan lgistik ruangan/failitas ruangan
• Melakukan pendokumentasian
3. Implementasi :
Fungsi pengorganisasian
• Merumuskan system penugasan
• Menjelaskan rincian tugas ketua Tim
• Menjelaskan rentang kendali di ruang rawat
• Mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan diruang rawat
• Mengatur dan mengendalikan logistik ruangan/fsilitas ruangan
• Mengatur dan mengendalikan situasi lahan praktik
• Mendelegasikan tugas kepada ketua Tim
Fungsi pengarahan:
• Mmebrikan pengarahan kepada ketua Tim
• Memberikan motivasi dalam meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap anggota Tim
• Memberi pujian kepada anggota Tim yang melaksanakan tugas dengan baik
• Membimbing bawahan
• Meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim
• Melakukan supervisi
• Memberikan informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan yankep diruangan
• Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
4. Evaluasi
Fungsi pengendalian:
• Mengevaluasi kinerja katim
• Memberikan umpan balik pada kinserja katim
• Mengatasi masalah di ruang rawat dan menetapkan tidak lanjut
• Memperhatikan aspek legal dan etik keperawatan
• Melakukan pelaporan dan pendokumentasian

Peran Ketua Tim dalam tahap
1 Pengkajian : mengumpukan data kesehatan klien
2. Perencanaan :
Fungsi perencanaan dan ketenagaan:
• Bersama Karu melaksanakan serah terima tugas
• Bersama karu melaksanakan pembagian tugas
• Menyusun rencana asuhan keperawatan
• Menyiapkan keperluan untuk melaksanakan asuhan keperawatan
• Melakukan ronde keperawatan bersama kepala ruangan
• Mengorientasikan klien baru pada lingkungan
• Melakukan pelaporan dan pendokumantasian
3. Implementasi
Fungsi pengorganisasian:
• Menjelaskan tujuan pengorganisasian tim keperawatan
• Membagi pekerjaan sesuai tingkat ketergantungan pasien
• Membuat rincian tugas anggota tim dalam keperawatan
• Mampu mengkoordinir pekerjaan yang harus dilakukan bersama tim kesehatan lain
• Mengatur waktu istirahat anggota tim
• Mendelegasikan proses asuhan keperawatan pada anggota tim
• Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
Fungsi pengarahan:
• Memberikan pengarahan kepada anggota tim
• Memberikan bimbingan pada anggota tim
• Memberikan infromasi yang berhubungan dengan askep
• Mengawasi proses pemberian askep
• Melibat anggota tim sampai awal dan akhir kegiatan
• Memberikan pujian/motivasi kepada anggota tim
• Melakukan pelaporan dan pendokumentasian

4. Evaluasi:
Fungsi pengendalian:
• Mengevaluasi asuhan keperawatan
• Memberikan umpan balik pada pelaksana
• Memperhatikan aspek legal dan etik
• Melakukan pelaporan dan pendokumantasian

Peran pelaksana dalam tahap
1. Pengkajian : mengkaji kesiapan klien dan diri sendiri untuk
melaksanakan suhan keperawatan.
1. Perencanaan:
Fungsi perebncanaan dan ketenagaan:
• Bersama Karu mengadakan serah terima tugas
• Menerima pembagian tugas dari katim
• Bersama katim menyiapkan keperluan untuk melaksanakan asuhan keperawatan
• Mengikuti ronde keperawatan
• Menerima klien baru
2. Implementasi
Fungsi pengorganisasian:
• Menerima penjelasan tujuan pengorganisasian tim
• Menerima pembagian tugas
• Melaksanakan tugas yang diberikan oleh katim
• Melaksanakan program kolaborasi dengan tim kesehatan lain
• Menyesuiakn waktu istirahat dengan anggota tim lainnya
• Melaksanakan asuhan keperawatan
• Menunjang pelaporan, mencatat tindakan keperawatan yang dilaksanakan
Fungsi pengarahan:
• Menerima pengarahan dan bimbingan dari katim
• Menerima informasi yang berkaitan dengan askep dan melaksanakan askep dengan etik dan legal
• Memehami pemahaman yang telah dicapai
• Menunjang pelaporan dan pendokumentasian
3. Evaluasi
Fungsi pengendalian:
• Menyiapkan menunjukkan bahan yang diperlukan untuk proses evaluasi serta ikut mengevaluasi kondisi pasien.

Peran Karu, Perawat primer dan perawat asosiat dalam MPKP (metode primary team) yang dilaksanakan di ruangan.
Peran Kepala Ruang
 Sebagai konsultan dan pengendalian mutu perawatan primer
 Orientasi dan merencanakan karyawan baru
 Menyusun jadual dinas
 Memberi penugasan pada perawat asisten/asosiat (PA)
 Evaluasi kerja
 Merencanakan /menyelenggarakan pengembangan staf

Peran Perawat Primer
 Menerima pasien
 Mengkaji kebutuhan pasien untuk asuhan
 Membuat tujuan
 Membuat rencana keperawatan
 Melakukan konferens untuk menjelaskan rencana asuhan kepada PA yang menjadi anggota timnya.
 Melaksanakan rencana yang telah dibuat selama dinas bersama PA yang menjadi anggota timnya.
 Melakukan kolaborasi dengan t9im kesehatan lainnya.
 Memantau PA dalam melaksanakan rencana asuhan keperawatan.
 Mengkoordinasi pelayanan yang diberikan oleh disiplin lain maupun perawat lain
 Mengevaluasi keberhasilan yang dicapai
 Menerima dan menyesuaikan rencana
 Menyiapkan penyuluhan untuk pulang
 Melakukan pendokumentasian (catatan perkembangan, catatan tindakan keperawatan)

Peran Perawat Asosiat
 Mengikuti konferens untuk menerima penjelasan tentang asuhan yang direncanakan oleh PP.
 Melaksanakan asuhan keperawatan yang telah dibuat oleh PP
 Memberi informasi/masukan yang diperlukan kepada PP tentang klien untuk keperluan asuahan keperawatan selanjutnya.
 Mencatat tindakan keperawatan yang telah dilakukan dalam catatan tindakan keperawatan.

Penutup
Pelayanan keperawatan professional adalah pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan. Metode penugasan yang memungkinkan terlaksananya asuhan keperawatan secara professional diantaranya adalah metode Tim dan metode Perawat Primer. Mengingat metode perawatan primer diperlukan perawat yang mempunyai kompetensi yang tinggi (tingkat spesialis) dan jumlah yang cukup, sementara di Indonesia (utamanya RSCM) belum ada maka dalam MPKP digunakan metode PN dimodifikasi dengan pendekatan Tim (Primary team). Dalam pengorganisasiannya agar tujuan pelayanan keperawatan dapat tercapai dibutuhkan uraian tugas, tanggung jawab dan peran yang jelas dari masing-masing klasifikasi tenaga perawat yang ada yaitu sebagai kepala ruang, ketua tim, dan pelaksana (metode Tim) dan Kepala ruang, perawat primer dan perawat asosiat (MPKP).
Referensi:
1. Gillies, (1989), Nursing managament a system approach, 2nd edition, W.B. Saunders: Philadelphia
2. Marquis, Huston, (2000), Leadership roles and management functions in nursing theory & application, 3rd edition, Lippincott Williams & Wilkins:Philadelphia.
3. Pusat Pengembangan Keperawatan Carolus, (2000), Metode asuhan keperawatan, makalah dipresentasikan dalam lokakarya manajemen bidang keperawatan tgl. 1 mei – 11 mei, Jakarta.
4. Ratna Sitorus (makalah), 2000, Pengembangan model praktik keperawatan professional (MPKP) sebagai suatu upaya meningkatkan mutu asuhan keperawatan di rumah sakit, tidak dipublikasikan.




















KATETERISASI

Pengertian
Kateterisasi kandung kemih mencakup memasukkan selang karet atau plastik melalu ueratra kedalam kandung kemih.

Tujuan
Menghilangkan distensi kandung kemih, penatalksanaan kandung kemih inkompeten, mendapatkan spesimen urine steril, dan pengkajian residu urine setelah berkemih.

Peralatan:
Kateter steril
Sarung tangan bersih
Pelumas
Larutan pembersih antiseptik
Kassa
Sputi yang telah berisi cairan untuk mengembangkan balloon pada kateter indweling
Wadah baskom
Urinal bag
Plester, gelang karet dan peniti
Selimut mandi kantung sampah
Handuk mandi

Prosedur
1. Jelaskan prosedur pada klien

2. Atur tempat tidur yang tepat

3. Tutup ruangan atau tirai ruangan

4. Cuci tangan
5. Berdiri disebelah kanan tempat tidur (bila pengguna tangan kanan) sebelah kiri (bila kidal)

6. Bantu klien untuk posisi terlentang dengan paha agak aduksi
7. Selimuti tubuh atas klien dengan selimut mandi dan tutup ekstrimitas bawah dengan selimut tidur
8. Tenpatkan handuk mandi dibawah genitalia
9. Kenakan sarung tangan dan cuci perineum dengan sabun dan air sesuai kebutuhan. Pada pria yang tidak disirkumsisi yakinkan untuk meretraksi prepusium untuk membersihkan meatus uretra
10. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
11. Buka kantung kateter sesuai petunjuk, pertahankan dasar wadah agar tetap steril
12. Gunakan sarung tangan steril

13. Oleskan pelumas pada dasar ujung kateter
14. Dengan tangan non dominan regangkan pegang penis batang tepat dibawah glend
15. Dengan tangan dominan ambil bola kapas dan bersihkan penis. Bersihkan dengan gerakan melingkar dari meatus bawah ke glens
16. Ambil kateter dengan tangan dominan yang telah menggunakan sarung tangan kurang lebih 7,5 sampai 10 cm dari jung kateter. Pegang ujunga kateter dan gulung ditelapak tangan dominan (atau dapat juga dipegang menggunakan pinset)
17. Minta klien untuk tidak mengedan dan masukan kateter 17,5 sampai 22 cm pada orang dewasa dan 5 sampai 7,5 pada anak atau sampai urine mengalir keluar dari kateter. Bila urine tampak, dorong kateter 5 cm

18. Jika menggunakan indwelling kateter, masukkan cairan pada balloon dengan spuit.
19. Turunkan penis dan pegang kateter dengan kuat pada tangan non dominan

20. hubungkan ujung kateter urinal bag.

21. Plester kateter pada bagian atas paha atau abdomen bagian bawah (dengan penis mengarah ke dada klien).
22. Lepaskan sarung tangan dan singkirkan semua peralatan.Cuci tangan
23. catat pada catatan perawat hasil prosedur, termasuk ukuran kateter, jumlah urine yang keluar, karakteristik urine, dan toleransi klien. Rasional
1. Memeinimalkan ansietas dan meningkatkan kerjasama
2. Meningkatkan penggunaan mekanika tubuh yang tepat
3. Mempertahankan privacy dan membantu relaksasi
4. Mengurangi transmisi mikroorganisme
5. Keberhasilan pemasangan kateter memerlukan anda mengatur posisi nyaman dengan semua peralatan yang mudah terjangkau.
6. Mencegah tegangan abdominal dan otot pelvic
7. Mencagah pemajanan tubuh yang tidak perlu

8. mencegah membasahi linen tempat tidur
9. Menurunkan/mengurangi jumlah mikroorganisme yang ada dekat meatus uretra



10. Mencegah transmisi dari tangan ke meatus uretra
11. Mencegah transmisi mikroorganisme


12. Mempertahankan asepsis selama prosedur
13. Mempermudah insersi kateter melalui meatus uretra
14. Genggaman yang kuat meminimalkan kesempatan terjadinya ereksi

15. Mengurangi jumlah mikroorganisme



16. Memegang kateter dekat ujung memungkinkan manipulasi lebih mudah selama memasukkan ke dalam meatus dan mencegah ujung distal menyentuh permukaan terkontaminasi.


17. relaksasi spinkter eksternal memudahkan insersi kateter. Uretra pria dewasa panjang. Keluarnya urine mengindikasikan ujung kateter berada di dalam kandung kemih. Mendorong kateter lebih jauh memastikan penempatan yang tepat.
18. Inflasi balon mencegah kateter keluar dari blader.

19. Kateter mungkin secara tak sengaja keluar akibat kontraksi kandung kemih atau uretra.
20. Menciptakan system terttutup untuk drainase urine.
21. Fiksasi yang kuat meminimalkan trauma pada uretra.

22. Mencegah transmisi mikroorganisme.

23. Mendokumentasikan respon klien dan hasil tindakan.

Kewaspadaan Perawat:
Jangan mendorong paksa kateter jika terjadi tahanan. Pada pria lansia, hipertropi prostat dapat menyumbat uraetra secara parsial dan menghambat kemudahan masuknya kateter. Bila terjadi tahanan beritahu dokter.

Referensi:
Perry, Potter, (1995), Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar, edisi 3, EGC: Jakaerta.

PEMSANGAN INFUS

Pengertian:
Pemasangan infus mencakup penusukan vena melalui transkutan dengan menggunakan jarum tajam

Tujuan:
Untuk memberikan dan mempertahankan terapi cairan secara IV.

Peralatan:
Larutan IV yang tepat
Jarum / kateter vena yang sesuai (besar jarum dengan vena yang akan ditusuk)
Torniket
Sarung tangan sekali pakai
Kasa 2x2 san salep povidon yodin
Plester yang telah dipotong dan siap digunakan.
Handuk untuk diletakkan dibawah klien.
Tiang intra vena (standart infus)

Prosedur
1. cuci tangan
2. Atur peralatan disamping yang bebas dari kusust atau di atas meja tempat tidur
3. Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic.
4. Untuk pemberian cairan IV:
a. Periksa larutan IV menggunakan “lima benar” pemberian obat. Periksa cairan terhadap warna, kejernihan dan tanngal kedaluwarsa
b. Bila menggunakan larutan IV dalam botol, lepaskan penutup logam dan lempeng karet. Untuk kantung larutan IV plastik lepaskan lapisan plastik di atas port selang IV.
c. Buka set infus, mempertahankan sterilitas pada kedua ujung.
d. Pasang klem rol sekitar 2 sampai 4 cm di bawah bilik drip dan pindahkan klem rol pada posisi “of”



e. Tusukan set infus kedalam kantung atau botol cairan.
• Lepaskan penutup pelindung kantung IV tanpa menyentuh lubangnya.
• Lepaskan penutup pelindung dari paku penusuk selang, jangan menyentuh paku penusuk dan, tusukan paku kelubang kantung. Atau tusukkan penusuk ke penyumbat karet hitam dari botol. Bersihkan penyumbat karet dengan antiseptik sebelum ditusuk.
f. Isi selang infus:
• Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi 1/3 sampai ½ penuh.
• Lepaskan pelindung jarum dan klem rol untuk memungkinkan cairan memenuhi bilik drip melalui selang keadapter jaringan jarum. Kembalikan klem ke posisi of setelah selang terisi.
• Pastikan selang bersih dari udara dan gelembung udara.
• Lepaskan pelindung jarum.
5. Pilih jarum IV yang tepat

6. Pilih tempat distal (ujung) vena yang digunakan.
7. Letakkan torniket 10 sampai 12 cm diatas tempat penusukan. Torniket harus menyumbat aliran vena, bukan arteri. Periksa adanya nadi distal.
8. Kenakan sarung tangan sekali pakai. Pelindung mata dan masker dapat digunakan untuk mencegah cipratan darah pada membran mukosa perawat.
9. Letakkan ujung adapter jarum perangkat infus dekat dengan kasa steril atau handuk..
10. Pilih vena yang terdilatasi baik.
11. Bersihkan tempat insersi dengan gerakan sirkular yang kuat menggunakan larutan povidon yodin: hindari menyentuh tempat yang telah dibersihkan: biarkan tempat tersebut mongering selama sedikitnya 30 detik. Bila klien alergi terhadap yodin, gunakan alcohol 70% selama 60 detik.
12. l;akukan pungsi vena. Tusuk dengan bevel (lubang jarum) menghadap ke atas pada sudut 20 sampai 30 derajat.
13. Perhatikan keluarnya darah yang menandakan jarum masuk ke vena. Dorong kateter ONC (over the needle cateter/surflo) kedalam vena lalu lepaskan stiletnya (jarum).
14. Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torniket dan dengan cepat hubungkan adapter jarum dari perangkat pemberian cairan IV.
15. Lepaskan klem roler untuk memulai infus dan mempertahankan patensi aliran.
16. Amankan kateter atau jarum IV,
• Pasang plester kecil di bawah kateter dengan sisi yang lengket menghadap ke atas dan silangkan plester di atas kateter.
• Bila digunakan balutan kasa, oleskan salep povidon yodin ditempat pungsi vena.
• Pasang plester kedua tepat menyilang hub (ujung) kateter.
• Letakkan bantalan kasa 2x2 diatas tempat insersi dan hub kateter dan amankan plester 2,5 cm atau pasang balutan transparan diatas tempat tusukan. Jangan menutup hubungan antara selang IV dan hub kateter
17. Atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat permenit.
18. Tuliskan tanggal dan waktu pemsangan aliran serta ukuran jarum pada balutan.

19. Lepaskan sarung tangan. Singkirkan alat-alat (rapikan) dan cuci tangan.
20. catat pada catatan perawat jenis laruta, letak insersi, kecepatan aliran, dan bagaimana toleransi klien terhadap prosedur.
Rasional
1. Mengurangi transmisi mikroorganisme
2. Mengurangi risiko kontaminasi dan kecelakan

3. Mencegah kontaminasi pada obyek steril
4.
a. Larutan IV adalah obat dan harus diperiksa hati-hati untuk mengurangi risiko kesalahan, kandungan partikel atau yang telahkedaluwarsa untuk tidak digunakan.
b. Memungkinkan masuknya selang infus kedalam cairan.


c. Mencegah kontaminasi kedalam peralatan dan aliran darah.
d. Jarak terdekat klem rol ke bilik memungkinkan pengaturan kecepatan aliran lebih akurat. Memindahkan klem pada posisi of mencegah penetesan cairan pada klien, perawat, tempat tidur atau lantai.


• Mempertahankan kesterilan cairan


• Mencegah kontaminasi larutan dari paku penusuk yang terkontaminasi.








• Menciptakan efek penghisap cairan masuk ke ruang drip untuk mencegah udara masuk selang.
• Mengeluarkan udara dari selang dan memungkikan selang terisi oleh larutan. Penutupan klem mencegah kehilangan cairan yang tak disengaja.



• Gelembung udara yang besar dapat bertindak sebagai emboli
• Mempertahankan kesterilan system.
5. Untuk menghindari kerusakan vena akibat terlalu besar jarum.
6. Bila terjadi kerusakan pada vena, tempat proksimal (lebih atas) dari vena masih dapat digunakan.
7. Tidak terdapatnya aliran arterial menghambat pengisian vena.

8. Menurunkan pemajanan terhadap HIV, hepatitis dan organisme yang ditularkan melalui darah.

9. Memungkikan penghubungan infus yang cepat, lancarpada jarum IV setelah penusukan vena.
10. Memudahkan insersi jarum kateter.
11. Povidon yodin adalah antiseptik topical yang mengurangi bakteri permyukaan kulit. Sentuhan akan mengakibatkan perpindahan bakteri dari tangan perawat ke tempat fungsi. Povidon yodin harus kering untuk mendapatkan manfaat yang baik.

12. Risiko penusukan dinding vena posterior dikurangi.

13. keluarnya darah menandakan jarum masuk vena.



14. Penghubungan cepat perangkat infus mempertahankan patensi vena, kesterilan.

15. Memungkinkan aliran vena dan mencegah pembekuan vena.

16.
• Mencegah penglepasan kateter dari vena secara tidak sengaja.


• Mengurangi bakteri pada kulit dan menurunkan risiko infeksi.

• Untuk fiksasi dan mencegah pengelapasan.
• Melindungi tempat tusukan dari kontaminasi.




17. Mempertahankan kepatenan kecepatan aliran IV yang tepat.
18. Memberikan kecepatan akses data seperti kapan pemasangan dan kapan penggantian.
19. Mngurangi transmisi mikroorganisme

20. Diokumentasi dan berguna dalam aspek legal


Kewaspadaan perawat:
Pungsi vena merupakan kontraindikasi di tempat yang menunjukkan tanda-tanda infeksi, ifiltrasi atau trombosis. Pungsi atau pemsangan infus juga dapat menyebabkan infeksi. Infeksi ditandai oleh adanya kemerahan, nyeri tekan, bengkak, dan hangat dan dingin pada jaringan sekitar.Trombosis ditandai oleh pembengkakan dan inflamasi sepanjang vena. Untuk menghindari perubahan letak jarum/kateter gunakan papan lengan/spalek.

Referensi:
Perry, Potter, (1995), Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar, edisi 3, EGC: Jakaerta.














PEMASANGAN NASO GASTRIK TUBE (NGT)

Pengertian
Insersi selang nasogastrik meliputi pemasangan selang plastik lunak melalui naso faring ke dalam lambung.

Tujuan:
Memberikan makanan atau cairan melalui NGT.
Mendapatkan spesimen cairan lambung.
Kumbah lambung pada pasien intoksikasi, perdarahan lambung.

Peralatan:
Selang NGT Pelumas larut dalam air
Spuit berujung kateter 60 ml.
Stetoskop
Plester hipoalergi dan benzoin tinktur
Spatel lidah
Handuk
Sarung tangan bersih
Tisu wajah
Larutan garam faal (NaCl)

Prosedur
1. Jelaskan prosedur dan tujuan pada klien
2. Cuci tangan
3. Susun semua peralatan disamping tempat tidur
4. Bantu klien untuk posisi fowler tinggi dengan bantal di belakang bahu
5. Letakkan handuk mandi di atas dada klien. Simpan tisu wajah dalam jangkauan klien
6. Berdiri disebelah kanan tempat tidur (bila pengguna tangan kanan) dan sebaliknya.
7. minta klien untuk rileks dan bernapas secara saat menutup satu lubang hidung. Kemudian ulangi prosedur untuk lubang hidung yang lain.
8. Tentukan panjang selang yang akan dimasukkan dan tandai dengan plester.
• Metode tradisional: ukur jarak dari ujung hidung sampai daun telinga hingga prosesus xifoideus sampai sternum.
9. Potong plester 10 cm
10. Siapkan selang NGT untuk intubasi
11. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan

12. Masukkan selang NGT yang sudah diberi pelumas dengan perlahan melalui lubang hidung sampai tenggorok
13. Fleksikan kepala klien ke arah dada setelah selang melalui nasofaring. Biarkan klien rileks sebentar.
14. Dorong klien untuk menelan dengan memberikan sedikit air atau batu es bila mungkin. Masukkan selang saat klien menelan sampai selang masuk sepanjang yang dinginkan (sesuai tanda).
15. tekankan pentingnya untuk bernapas lewat mulut dan menelan selama prosedur.
16. jangan dorong paksa selang jika ada tahanan atau klien mulai tersedak, gag atau menjadi sianosis. Hentikan memasukkan selang dan periksa posisi selang dibelakang lidah dengan tong spatel.
17. Periksa letak selang di dalam lambung:
• Sambungkan spuit pada ujung selang. Letakkan stetoskop di atas kuadran kiri atas abdomen klien tepat dibawah garis kosta. Suntikan 10 sampai 20 ml udara dan auskultasi abdomen.
• Bila tidak terdengar (berarti selang belum masuk lambung) masukkan 2,5 – 5 cm lagi dan periksa kembali posisinya.
18. Oleskan benzoin tinktur pada ujung hidung klien dan ujung selang. biarkan mongering
19. Amankan selang dengan plester dan hindari tekanan pada lubang hidung.
20. Lepas sarung tangan, rapikan peralatan dan cuci tangan.
21. Catat jenis selang yang dipasang dan toleransi klien pada prosedur.
Rasional
1. Meningkatkan kerjasama klien
2. Mengurangi mikroorganisme
3. memudahkan kerja dan mempersingkat waktu prosedur.
4. Meningkatkan kemampuan klien untuk menelan
5. Mencegah membasahi pakaian klien. Tisu untuk membersihkan air mata klien karena insersi selang melalui nasal dapat menyebabkan keluar air mata.
6. memudahkan pelaksanaan prosedur.

7. Selang dapat masuk dengan mudah melalui lubang hidung yang paten.


8. memperkirakan dalamnya selang yang akan dimasukkan.




9. Untuk fiksasi
10.
11. Mengurangi penyebaran mikro organisme
12. Garis bentuk normal memudahkan masuknya NGT kesaluran gastrointestinal.
13. Menutup glottis dan mengurangi risiko selang masuk ke trakea. Memungkikan klien untuk bernapas dan tetap tenang.
14. Menelan memudahkan lewatnya selang melalui orofaring.




15. Membantu memudahkan lewatnya selang dan menghilangkan rasa takut klien selama prosedur.
16. Selang mungkin terlipat, menggulung, di orofaring atau masuk trakea.




17. Posisi yang tepat penting untuk diketahui sebelum mulai pemberian makan.
• Udara yang masuk kedalam lambung menciptakan bunyi desiran dan mengkonfirmasikan penempatan selang.
• Selang harus didalam lambung untuk memberikan makan maupun tujuan dekompresi.

18. membantu melekatkan plester lebih baik.

19. Mencegah trauma pada mukosa hidung dan memungkinkan mobilitas klien.
20. Mengurangi transmisi mikroorganisme.
21. Mendokumentasikan prosedur yang tepat.


Kewaspadaan perawat :
Penempatan selang nasogastrik hanya dapat dipastikan dengan sinar-X dan harus dikaji ulang setelah perubahan posisi klien atau bila terhadi batuk berat atau muntah. Pemasrtian menentukan bahwa selang tidak berubah posisi ke jalan napas.

Referensi:
Perry, Potter, (1995), Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar, edisi 3, EGC: Jakaerta.
















PENGAMBILAN DARAH VENA

Pengertian
Pengambilan darah vena adalah mencakup penusukan vena secara transkutan dengan jarum untuk mendapatkan smpel darah vena.

Tujuan
Mendapatkan spesimen darah untuk pemeriksaan

Peralatan:
Sarung tangan sekali pakai
Tabung spesimen
Swab pembersih alcohol dan betadine
Torniket karet
Handuk/alas plastik untuk diletakkan dibawah tangan klien
Bantalan kasa steril 2x2
Plester perekat
Spuit sesuai keperluan (3 cc, 5 cc, 10 cc, dll)

Langkah-langkah
Prosedur
1. Cuci tangan dan pakai sarung tangan

2. Kumpulkan semua peralatan yang diperlukan dan bawa kedekat klien

3. Tutup tirai tempat tidur atau pintu ruangan
4. Atur peralatan dipermukaan yang bebas dari lipatan.
5. Bantu klien pada posisi terlentang atau semi fowler dengan lengan lurus. Letakkan handuk kecil di bawah lengan atas.
6. Buka kemasan steril menggunakan teknik steril.
7. Pilih tempat distal pada vena yang akan digunakan. Vena yang sering digunakan untuk pengambilan sampel adalah vena-vena yang terdapat pada ante kubiti dan vena lengan bawah.
8. Pasang torniket 5 – 15 cm di atas tempat pungsi vena.
9. palpasi nadi distal di bawah torniket.

10. pilih vena yang terdilatasi baik. Anjurkan klien mengepalkan tangan untuk membantu dilatasi. Jangan menahan torniket lebih dari 1 – 2 menit.

11. Bersihkan tempat pungsi vena dengan povidon yodin dan kemudian alcohol dengan gerakan melingkat kearah luar sekitar 5 cm.
12. lepaskan penutup jarum dari sputi dan beritahu klien bahwa ia akan merasakan tusukan.
13. letakkan tangan non dominan 2,5 cm dibawah tempat tusukan dan tarik kulit klien agar ke arah anda
14. Pegang spuit dan jarum pada sudut 15 – 30 derajat dari lengan klien dengan bevel (lubang jarum) ke atas.

15. Dengan perlahan tusukan jarum ke dalam vena.
16. Dengan spuit, tarik perlahan darah yang sudah masuk kedalam spuit sesuai yang diperlukan.
17. lepaskan torniket setelah darah didapatkan.
18. Lepaskan jarum dari vena: pasang kasa 2x2 atau bantalan alcohol di atas tempat pungsi vena tanpa memberikan tekanan. Dengan tangan yang lain tarik jarum dengan menarik lurus ke belakang dari tempat pungsi vena.
19. Berikan tekanan pada tempat tusukan.

20. Pindahkan darah spuit ke tempat(botol) spesimen

21. Perhatikan tempat pungsi terhadap perdarahan dan pasang plester.
22. tempelkan label identifikasi lengkap pada setiap tabung. Lekatkan daftar permintaan dan kririm ke laboratorium.
23. Buang jarum, spuit dan peralatan yang kotor, lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
Rasional
1. Mengurangi transmisi mikroorganisme dan untuk keamanan.
2. Mempertahankan pengaturan dan menghindari meninggalkan klien saat memerlukan tambahan alat.
3. Memberikan privacy klien

4. Mengurangi risiko kontaminasi dan kecelakaan.
5. Menstabilkan lengan klien dan memudahkan akses pada tempat pungsi vena.

6. Mencegah kontaminasi obyek steril.

7. Bila terjadi sclerosis atau kerusakan lain pada vena, tempat proksimal (diatasnya) yang sama masih dapat digunakan.

8. memungkinkan vena untuk membesar oleh pengumpulan darah.
9. Tekanan dari torniket harus tidak mengganggu aliran nadi.
10. kontraksi otot dapat meningkatkan distensi vena. Pengikatan torniket yabng lama dapat menyebabkan stasis vena yang dapat mempengaruhi hasil test.
11. Betadine merupakan antiinfektif topikal yang dapat mengurnagi bakteri permukaan.

12. Klien mempunyai kontrol lebih baik terhadap ansietasnya jika ia mengetahui apa yang akan terjadi.
13. Menstabilkan vena dan mencegah kulit terlipat selama jarum masuk.

14. Mengurangi kesempatan penetrasi selama penusukan dan mengurangi risiko tertusuknya dinding posterior vena.
15. Mencegah penusukan keseluruh vena.

16. Mendapatkan darah sesuai yang diperlukan.

17. Mengurangi perdarahan pada tempat penusukan saat jarum dilepaskan.
18. tekanan pada jarum dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Pelepasan jarum dengan arah lurus dari vena mencegah cedar vena dan jaringan sekitarnya.


19. Untuk mengontrol/menghentikan perdarahan.
20. Untuk mencegah kontaminasi dan pembekuan (jika diinginkan darah harus cair)
21. Mempertahankan kebersihan tempat pungsi dan kontrol perembesan darah.
22. Tes harus dilakukan dengan tepat. Pemberian label yang tidak tepat dapat menyebabkan kesalahan.
23. Mengurangi transmisi mikroorganisme.


Kewaspadaan perawat:
Tekanan harus diberikan pada tempat pungsi vena pada klien dengan gangguan perdarahan atau jumlah trombosit rendah atau yang menerima terapi antikoagulan. Ini akan menurunkan risiko pembentukan hematoma.

Referensi
Perry, Potter, (1995), Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar, edisi 3, EGC: Jakaerta.









RENTANG KENDALI, DELEGASI DAN KOMUNIKASI
DALAM MANAJEMEN KEPERAWATAN

Pendahuluan

Manajemen merupakan proses bekerja dengan dan melalui orang lain untuk mancapai tujuan organisasi dalam suatu lingkungan yang berubah. Manajemen juga merupakan proses mengumpulkan dan mengorganisisr sumber-sumber dalam mencapai tujuan yang mencerminkan kedinamisan organisasi. Arah tujuan yang yang harus dicapai ditetapkan berdasarkan misi, filosofi dan tujuan organisasi dalam hal ini dapat berupa rumah sakit maupun institusi lain sebagai agen pelayanan keperawatan.

Tujuan organisasi akan lebih mudah tercapai dengan adanya desain organisasi yang efesien. Beberapa faktor yang mempengaruhi efesiensi organisasi diantaranya adalah adanya rentang kendali, adanya delegasi dan proses pendelegasian, termasuk komunikasi yang berlangsung dalam organisasi.

Makalah ini membahas rentang kendali, delegasi dan komunikasi antar tim sebagai hasil studi literartur yang dikaitkan dengan upaya efesiensi dan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi. Fokus bahasan adalah pengertian, metodologi dan hambatan yang mungkin ditemukan.






Pembahasan
1. Rentang Kendali
Rentang kendali adalah karakteristik jumlah orang atau bawahan untuk satu orang manajer (Marquis & Huston, 2000). Rentang kendali dapat dilihat dan ditentukan dari bagan organisasi. Seperti contoh bagan di bawah ini:

























Gambar: Contoh diagram organisasi
(sumber: Marquis & Huston, hal.142)
Dalam bagan di atas seperti posisi direktur keperawatan kita ambil sebagai contoh maka rentang kendali adalah jumlah orang/bawahan yang menjadi tanggung jawabnya, yaitu beberapa supervisor dan perawat supervisor shift. Rentang kendali dari perawat penganggung jawab shift adalah kepala perawat unit medical surgical, psyciatric, pediatric, obstetric, perinatologi, emergency room, operating room, recovery room, labor and delivery dan social services. Demikian seterusnya rentang kendali dari perawat kepala dari masing-masing unit adalah para perawat pelaksana dari unit-unit tersebut.

Memperhatikan contoh bagan organisasi di atas kita dapat melihat bahwa rentang kendali akan akan semakin besar/luas dengan menurunnya tingkat manajer. Direktur keperawatan sebagai manajer puncak dalam pelayanan keperawatan memiliki rentang kendali yang lebih sempit dibanding perawat penanggung jawab shift (manajer menengah).

Jumlah yang tepat untuk menentukan luas sempitnya rentang kendali (rentang kendali yang optimum) tergantung dari beberapa faktor. Marquis dan Huston (2000), menyatakan bahwa kemampuan manajer, kematangan pekerja, kompleksitas tugas, lokasi geografis, dan besarnya organisasi adalah harus menjadi pertimbangan pada saat menentukan rentang kendali yang optimum. Sedangkan Gillies (1989), mengemukakan bahwa yang harus diperhatikan dalam menetukan rentang kendali adalah: kemampuan mensupervisi, kemampuan bawahan yaitu tingakt pengetahuan dan ketrampilan bawahan, kompleksitas tugas, keeratan hubungan antara kegiatan yang ada Jumlah tugas pejabat, delegasi wewenang, keterbatasan perhatian karena waktu dan jarak.

Rentang kendali jangan terlalu luas demikian juga terlalu sempit. Penelitian industrial menunjukkan bahwa bahwa pengelola dibagian puncak birokrasi dapat mengatur lebih sedikit bawahan secara efektif dibanding seorang supervisor pada struktur paling rendah. Umumnya perbandingan 1 : 3 untuk manajer puncak dan 1 : 6 untuk manajer bawah (Gillies, 1989). Ketidak tepatan dalam menentukan rentang kendali dapat meningkatkan inefesiensi (Marquis & Huston, 200).

Delegasi
Delegasi dapat didefinisikan sebagai mempercayakan pekerjaan untuk diselesaikan orang lain atau sebagai perintah melaksanakan pekerjaan pada satu atau lebih orang untuk menyelesaikan tujuan organisasi (Marquis & Huston, 2000). Delegasi adalah elemn penting dari pase pengarahan pada proses manajemen, sebab banyak pekerjaan sering tidak hanya diselesaikan dengan usaha sendiri tetapi juga diselesaikan oleh sub ordinatnya (bawahannya).

Bagi manajer, delegasi bukan merupakan pilihan, akan tetapi merupakan kebutuhan. Ada beberapa hal yang menjadi alasan penting bahwa delegasi merupakan kebutuhan manajer. Seringkali manajer harus mendelegasikan tugas-tugas rutin agar mereka lebih leluasa menangani atau menyelesaikan masalah/tugas yang lebih komplek atau tugasd yang memerlukan ketrampilan/ keahlian dan pengetahuan yang lebih tinggi. Manajer juga harus mendelegasikan pekerjaan jika seseorang dianggap lebih mampu atau lebih tinggi kompetensi atau keahlian serta pengetahuan terhadap pekerjaan yang akan diselesaikan.

Delegasi dapat digunakan untuk memberikan pembelajaran atau memberikan kesempatan bagi bawahan. Bawahan yang tidak pernah mendapat delegasi tanggung jawabnya kurang, tidak produktif dan tidak efektif. Bennis (1989) dalam Marquis dan Huston (2000), menyatakan bahwa kebutuhan seseorang untuk merasa bahwa ia dapat mempengaruhi kesuksesan organisasi. Pengaruhnya mungkin kecil, akan tetapi ketika ia diberi kewenangan/kekuasaan, orang merasa bahwa mereka berarti dan signifikans. Jadi dalam pendelegasian pemimpin/manajer berkontribusi dalam pengembangan professional dan personal pegawai.

Fungsi manajemen yang berkaitan dengan pendelegasian adalah:
1. Membuat uraian tugas/lingkup dari penyataan praktik untuk semua personel.
2. Mampu mempertimbangkan tanggung jawab legal dari bawahan yang disupervisi.
3. mengkaji secara akurat kemampuan dan motivasi bawahan ketika mendelegasikan.
4. Mendelegasikan tingkat kewenangan penting untuk melengkapi pendelegasian tugas.
5. Mengembangkan dan mengimplementasikan proses tinjauan ulang secara periodic terhadap semua tugas yang didelegasikan.
6. Memberikan pengakuan atau penghargaan terhadap